Friday, March 19, 2010

Wanna be a Doctor ??? (State of Mind)

Saya Ingin Jadi Dokter, Om!!!


Setiap orang pastinya memiliki cita-cita ataupun harapan akan menjadi apa dan bagaimana dia kelak di masa yang akan datang. Cita2 juga dapat menjadi impian sekaligus pelecut semangat seseorang untuk dapat terus berusaha dan berkarya dalam mencapai apa yang dicita-citakan tersebut. Cita-cita dapat mucul seiring dengan berjalannya waktu berdasarkan hobi, kemampuan, ketrampilan, maupun pengalaman hidup seseorang. DIharapkan setiap orang bisa memiliki cita-cita dan memilikinya sejak usia sedini mungkin. Sedini mungkin??
Ketika iseng-iseng menanyai beberapa anak-anak usia sekitar di bawah 5 tahun, termasuk juga melihat kolom `Sahabatku` di salah satu koran lokal edisi hari Minggu, ternyata rata-rata anak-anak yang masih ingusan ini sudah punya cita-cita. Dan hebatnya lagi sebagian besar dari mereka dengan `mudah`nya menyebutkan : “Saya ingin jadi dokter, Om!!”. Saya cukup terhenyak, mengingat keputusan saya untuk bercita-cita menjadi seorang dokter baru muncul pada saat saya duduk di kelas III SMU. Apakah benar anak-anak ini sudah mengetahui `konsekuensi` yang harus ditempuh ketika bercita-cita menjadi seorang dokter? Bahwa betapa besar pengorbanan tenaga, waktu, biaya untuk mewujudkan cita2 mereka. Atau jangan-jangan anak-anak yang masih ingusan ini bahkan belum tahu apakah arti cita-cita itu sebenarnya. Dan kemungkinan apa yang mereka lontarkan secara spontan, yang dikatakan sebagai cita-cita itu sebenarnya merupakan harapan atau keinginan dari orang tua mereka
yang sedari kecil sudah berusaha ditanamkan dalam otak mereka. Ah, ataukah saya lah yang terlalu `negative thinking` terhadap mereka? Namun ada satu hal yang pasti di sini, hingga sekarang profesi dokter masih menjadi salah satu profesi yang paling diinginkan oleh banyak orang.
Setiap tahun saat persiapan tes penerimaan mahasiswa baru, maka salah satu jurusan yang paling padat peminat adalah jurusan Fakultas Kedokteran. Hampir semua keluarga ingin anaknya ada yang menjadi dokter. Dokter dipandang memiliki derajat status yang lebih tinggi, memiliki uang banyak, hidupnya pasti makmur dan sejahtera. Tidak heran setiap tahun betapa banyak orang tua yang bersusah payah dan berjerih lelah untuk memasukkan anak mereka ke fakultas kedokteran, syukur-syukur bila diterima di universitas favorit. Bahkan tidak sedikit yang rela mengeluarkan uang hingga ratusan juta rupiah sekedar untuk memuluskan `impian`nya itu.
Memang benar bahwa ketika anda menjadi seorang dokter, maka dapat dikatakan kehidupan anda minimal akan tercukupkan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa ke mana pun anda pergi, kebutuhan akan seorang dokter selalu akan ada. Malahan banyak pula dokter yang karena profesinya itu dapat hidup berkelimpahan. Memang benar pula ketika dokter masih dianggap strata yang cukup tinggi di mata masyarakat. Saya teringat seorang teman, yang notabene bukan seorang dokter, diminta oleh keluarganya untuk mencari kerja saja di fakultas kedokteran sebagai pegawai, dengan harapan kalau-kalau saja dapat memperoleh jodoh seorang dokter di sana!!!
Namun, apakah benar menjadi dokter itu sangat menyenangkan??? Pengalaman saya, menjadi dokter itu perlu perjuangan yang sangat berat. Semasa menuntut ilmu di bangku kuliah pun, seorang mahasiswa kedokteran diharapkan memiliki waktu belajar yang `lebih` dibandingkan teman-teman lainnya. Menjadi dokter pun memerlukan waktu yang lebih panjang, sekitar 4 tahun kuliah ditambah 2 tahun praktek di RS sebagai co-asisten. Belum lagi ketika selesai mereka akan melakukan proses `pengabdian` di daerah-daerah selama beberapa tahun. Belum lagi bila mereka ingin melanjutkan ke pendidikan spesialistik yang akan memakan waktu 4-5 tahun.
Dokter pun dihadapkan dengan tanggung jawab yang lebih besar dimana yang dilayani secara langsung adalah manusia sebagai obyek. Terasa perbedaan dalam hal besarnya tanggung jawab ketika, misalnya seorang montir yang sedang `membedah` sebuah mobil dibandingkan dengan seorang dokter yang tengah `membedah` seorang pasien di meja operasi. Seorang dokter pun sering kali harus menempatkan tugas dan tanggung jawab mereka sebagai dokter sebagai prioritas utama dalam hidup. Betapa banyak dokter yang harus menghabiskan waktu kerja maupun jaga malam di rumah sakit ataupun pusat pelayanan kesehatan lainnya setiap hari, sehingga keluarga seolah-olah menjadi prioritas nomor dua. Belum lagi saat ini profesi dokter saat ini sering `diganggu` oleh segelintir oknum-oknum yang mencari-cari kesalahan dengan memanfaatkan istilah `malpraktek`.
Saya teringat cerita teman saya. Dikatakan jadi dokter sekarang sudah berbeda dengan menjadi dokter pada 30 atau 40 tahun lalu. Pada jaman lampau, kebutuhan banyak namun tenaga dokter masih kurang. makanya tiap lulusan akan langsung terangkat menjadi PNS atau pun terserap di lapangan kerja yang lain. Namun sekarang situasi sudah beda. Setiap penerimaan PNS, terutama di kota besar, formasi dokter yang tersedia paling cuma 2-3 orang saja, sementara peminatnya bisa berjumlah ratusan. Makin banyaknya universitas dengan fakultas kedokteran, juga membuat persaingan antar dokter menjadi lebih berat, utamanya di kota besar, dimana sebagian besar dokter memilih berkarya di kota besar. Sungguh miris melihat dokter praktek swasta yang memasang tarif sekali periksa pasien yang hanya `sebanding` dengan seporsi nasi campur, mengingat betapa besarnya tanggung jawab yang dipikul oleh dokter tersebut dalam menangani pasiennya.
Namun terlepas dari itu semua, saya tidak menyesal menjadi seorang dokter. Dokter tetaplah adalah suatu profesi yang mulia. Adalah suatu kebahagiaan yang tak terkira, ketika seorang pasien datang ke pada dokter berterima kasih karena ternyata setelah berobat, penyakit yang dideritanya itu akhirnya sembuh. Mungkin hal itulah yang selalu menjadi kekuatan dan kebahagiaan terbesar menjadi seorang dokter.
Saya senang menjadi seorang dokter. Saya senang mendengar anak-anak itu memiliki cita-cita mulia ini sedari kecil. Saya senang mendengar mereka berkata : “Mama, saya ingin menjadi seorang dokter!!”